SDN 25 SANTI KOTA BIMA IKUT MEMERIAHKAN PAWAI RIMPU DALAM RANGKA HUT KOTA BIMA

Hari Minggu Kemarin seluruh elemen masyarakat Kota Bima Ikut ambil bagian dalam kegiatan Pawai Rimpu yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Bima dalam Rangka Menyambut Hari Jadi Kota Bima, Alhamdullilah Antusias Masyarakat Kota Bima baik dari masyarakat umum maupun dari instansi-instansi semua ikut ambil bagian dalam acara Pawai rimpu tersebut

Penelitian ini menjelaskkan tentang tradisi pemakaian Rimpu. Dalam hal ini objek penelitian difokuskan di Desa Rato, Kec. Lambu, Kab. Bima, Prov. Nusa Tenggara Barat (NTB). Secara umum, penelitian ini meneliti tentang konteks sosiologis historis seperti apakah yang melatar belakangi adanya Rimpu tradisi berbusana di kalangan perempuan Bima dan bagaimana dinamika penggunaan Rimpu ditengah globalisasi busana serta apa makna Rimpu masa dulu dan makna Rimpu masa kini di kalangan perempuan Bima yang ada di Desa Rato. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif-analitik kualitatif dengan pendekatan etnografi. Sedangkan metode yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu dengan metode observasi, dokumentasi, dan wawancara. Selain itu penulis juga menggunakan teori “Sociology of Knowledge” oleh Karl Mannheim untuk menelaah dan menganalisa makna konteks sosiologi historis seperti apakah yang melatar belakangi Rimpu tradisi berbusana dikalangan perempuan Bima di Desa Rato. Makna tersebut meliputi makna obyektif, ekspresif, dan documenter. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Sebelum istilah Rimpu, masyarakat Bima mengenal istilah sanggentu (menggulungkan sarung sampai kedada) untuk perempuan dan katente (menggulungkan sarung sampai ke pinggang) untuk laki-laki yang sampai sekarang masih digunakan dalam keseharian masyarakat Bima Rimpu pertama kali diperkenalkan setelah masuknya Islam di Kesultanan Bima, sebagai bentuk pengejewantahan ajaran Islam dalam menutup aurat bagi setiap wanita muslimah. Tradisi Rimpu lahir dari perjumpaan antara ajaran agama Islam dengan budaya lokal masyarakat setempat. Sesuai penggunaanya, Rimpu bagi perempuan Bima dibedakan sesuai status. Bagi remaja/gadis memakai Rimpu Mpida yang artinya seluruh anggota badan terselubung kain sarung dan hanya mata yang di biarkan terbuka, Rimpu Mpida juga bisa di bilang cadar ala perempuan Bima. Sedangkan bagi kaum perempuan yang sudah bersuami memakai Rimpu Colo. Dimana bagian muka semua terbuka. Keberadaan Rimpu sudah jarang di gunakan lagi oleh masyarakat Bima pada umumnya karena menurut mereka Rimpu adalah budaya lama yang harus diganti dengan budaya baru yang lebih modern dan modis.

SDN 25 Santi Kota Bima Pun turut ambil bagian dalam acara pawai tersebut seluruh guru ikut dalam pawai tersebut baik guru maupun tenaga kependidikannya semua kompak dalam kegiatan tersebut dan semuanya menggunakan kostum Rimpu untuk yang perempuan dan saremba tembe untuk yang laki-laki sarung yang digunakan adalah sarung yang diberinama tembe nggoli, salungka, masarai dan sebagainya. sarung ini merupakan sarung khas Bima yang merupakan kerajinan dari orang bima asli.

Semu guru dan pegawai SDN 25 Santi Kota Bima sangat bergembira ria ikut dalam pawai tersebut Ibu NURFARIDA, S.Pd Selaku Kepala SDN 25 Santi Kota Bima mengatakan cukup puas dengan acara ini karna semua teman-teman guru dapat ikut memeriahkan pawai Rimpu ini dengan adanya acara seperti ini diharapkan dapat melestarikan budaya Bima dan dapat mengangkat UKM khususnya untuk  usaha kecil tenun seperti ini

kegiatan ini perlu terus dilakukan selain untuk meningkatkan daya jual UKM tenun juga dapat meperkenalkan Budaya, Adat dan Kerajinan daerah  Bima didunia yang lebis Nasional bahkan Internasional.